NARASI, TANPADAJEDA.ID – Mahapati atau yang dikenal dengan sebutan Ramapati (dalam sandiwara radio) adalah petinggi setingkat rekryan (mentri) di Majapahit.
Politik adu dombanya terbilang sukses besar. Ia mampu membuat Ranggalawe, Lembu Sora, Nambi dan Gajah Biru memberontak lalu tewas di Medan tempur.
Image building Ramapati terhadap mereka adalah Pemberontak Negara. Padahal mereka adalah sahabat seperjuangan R. Wijaya.
Bahkan raja Majapahit pertama ini pun hutang nyawa kepada mereka. dan hakikatnya, ayah Ranggalawelah yg mendirikan Majapahit.
Namun begitulah politik kekuasaan manis dan pahit sangat tipis bedanya, Jabatan lebih penting dari sahabat seperjuangan.
Penasehat dalam sebuah pemerintahan menjadi sebuah peran penting dan sangat krusial, Hal demikian dapat tercermin saat para pemimpin di suatu wilayah mengambil kebijakan yang akan diberlakukan.
Ia harus berunding bersama para penasihatnya untuk mengambil suatu keputusan yang sifatnya objektif dan dapat memberi kesejahteraan bagi rakyat atau masyarakat wilayahnya.
Raja pertama Kerajaan Majapahit adalah Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293-1309 M), Perjuangan merintis Kerajaan Majapahit tidaklah mudah, ia harus bersusah payah bersama para manggala Kerajaan untuk menegakkan panji-panji kebesaran Majapahit.
Era kepemimpinan Raden Wijaya, dia dibantu oleh sejumlah manggala ternama, Sebut saja Lembu Sora, Kebo Anabrang, Ranggalawe, Nambi, Kanuragan, Gajah Mada, Dyah Halayuda dan beberapa manggala lainnya.
Nama Dyah Halayuda tercatat dalam Prasasti Sidateka (1323), beberapa Sejarawan menyimpulkan bahawa tokoh Dyah Halayuda merupakan tokoh yang identik dengan tokoh “Mahapati” yang digambarkan dalam naskah Pararaton dan Kidung Sorandaka.
Istilah “Maha” bermakna besar, sementara “Pati” bermakna penguasa. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Mahapati merupakan seorang yang berambisi besar untuk menjadi penguasa.
Karenanya nama Mahapati bukanlah nama asli, melainkan nama julukan yang dituliskan pengarang Pararaton maupun Kidung Sorandaka untuk menggambarkan watak Dyah Halayuda yang ambisius dan licik.
Masa kepemimpinan Raden Wijaya, sosok Dyah Halayuda gemar melancarkan fitnah disertai politik adu domba demi meraih ambisinya untuk menduduki posisi Mahapatih Kerajaan Majapahit
Jika merujuk pada Prasasti Sidateka (1323) Dyah Halayuda digambarkan sebagai orang yang berasal dari keluarga bangsawan.
Dari sanalah Sejarawan menduga bahwa munculnya dendam Dyah Halayuda kepada para pejuang Majapahit seperti Ranggalawe, Lembu Sora dan Nambi dilatar belakangi oleh iri hati.
Ia merasa lebih tinggi drajat kebangsawannanya daripada Ranggalawe, Lembu Sora dan Nambi akan tetapi justru Raja menganugerahi jabatan yang lebih tinggi pada ketiganya.
Gerakan awal yang dilakukan Dyah Halayuda ada pada saat pengangkatan Nambi sebagai Patih di Majapahit.
Dia kemudian menghasut Ranggalawe untuk tidak menerima pengangkatan Nambi sebagai Patih. Begitu pun sebaliknya dia juga menghasut Nambi untuk menindaklanjuti kelancangan Ranggalawe.
Akibat Politik adu domba tersebut, perang saudara pun tak terelakkan. Dalam perang tersebut Ranggalawe terbunuh di Sungai Tambak Beras.
Di Bunuh dengan kejam oleh Mahisa Anabrang, kelak karena sakit hati melihat pembunuhan yang dilakukan Kebo Anabrang dengan kejam, Lembu Sora yang merupakan keponakan Ranggalawe membunuh Kebo Anabrang pada hari itu juga.
Tahun 1300, Dyah Halayuda melancarkan gerakan kedua, menghasut Mahisa Taruna Putra Mahisa Anabrang agar menuntut pengadilan untuk Lembu Sora yang telah membunuh ayahnya.
Namun karena Raja Majapahit (Raden Wijaya) menanggap Lembu Sora sangat berjasa bagi Majapahit, Lembu Sora hanya dihukum di usir serta di asingkan ke wilayah luar.
Kurang puas atas dorongan nafsu dan akal bejatnya, Dyah Halayuda melakukan gerakan ketiga kalinya tepat pada tahun 1316, saat Nambi pada saat itu meminta izin untuk kembali ke Lumajang karena ayahnya meninggal.
Datang mewakili Kerajaan Majapahit Dyah Halayuda berkunjung ke Lumajang dalam rangka ikut belasungkawa. Lalu dia memberi saran kepada Nambi untuk cuti untuk sementara waktu sebelum dia bekerja Kembali di Majapahit.
Nambi berterima kasih kepada Dyah Halayuda yang sudah mengerti akan perasaannya yang lagi berduka.
Namun begitu liciknya Dyah Halayuda memberikan informasi miring yang diberikan kepada Raja Majapahit ( Jayanegara ) berbeda, justru malah sebaliknya melaporkan bahwa Nambi tidak Sudi kembali ke Majapahit serta Nambi di laporkan sedang mempersiapkan pasukan untuk melancarkan pemberontakan.
Politik Adu Domba
Domba tak mau kalah eksisnya dengan kambing, sekarang peran Kambing (kambing hitam) yang kemarin sangat tenar mulai memudar dan muncul si actor baru yaitu Domba, atau si Adu Domba, tak mau kalah dengan kambing domba digadang-gadang akan mengalahkan eksistensi kambing.
Sejarah mencatat banyak sekali kejadian seorang pemimpin dikendalikan oleh sengkuni-sengkuni yang berada disegala lini pemerintahan.
Yang paling terkenal adalah seorang penasehat patih kerajaan Majapahit yaitu Dyah Halayuda, dialah yang menjadi dalang adu domba antara Maha Patih Nambi dengan Rajanya sendiri Raden Jayanegara.
Seorang pengadu domba tidak perlu memiliki fisik besar, namun memerlukan otak yang besar alias cerdas begitulah sosok halayuda ataupun wayang sengkuni mereka digambarkan idak bertubuh besar dan kekar namun memiliki akal yang sangat licik.
Jika hal seperti ini terus berjalan di Negara kita, yaitu masalah adu domba suatu yang kegiatan tercela secara turun-temurun baik dimasa kerajaan ataupun colonial belanda, karena siasat adu domba digunakan untuk meruntuhkan tahta atau sering disebut Devide et Impera.
Kerajaan yang menjadi korban antara lain seperti kerajaan Banten yang di Pimpin Sultan Agung Tirtayasa, kerajaan Mataram Islam, kerajaan Gowa-Tallo di Makasar.
Teori yang dilakukan Belanda yaitu Devide et Impera teori yang sangat ampuh untuk menggagalkan persatuan Nusantara
Suatu pemikiran yang mendasarkan egoisme akan menghasilkan suatu kaum yang sangat rendah intelektual dan kesopanannya.
Adu domba dilakukan berdasarkan suatu kekuatan egois yang tinggi akan suatu tahta atau kedudukan, sehingga tak dipungkiri lagi setiap orang yang berperan sebagai pengadu domba harus menyebarkan racun-racun yang pedih untuk melumpuhkan kedua mangsanya tanpa membawa dirinya terjun dalam kekotoran pertarungan.
Menurut pendapat Drh. Chairil, MM Politik adu domba atau politik pecah belah sebenarnya adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan.
Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.
Bukan hanya mengadu Domba dalam kerajaan, melainkan dalam proses mengadu domba, Belanda sangat serius contohnya saja mengajarkan ilmu pengetahuan untuk para kaum pribumi, khususnya golongan bangsawan untuk membantu belanda bekerja, dari situlah ado domba mulai dimunculkan.
Banyak hal yang harus kita ketahui bahwa Saat ini Indonesia berada di posisi 108 di dunia dengan skor 0,603.
Secara umum kualitas pendidikan di tanah air berada di bawah Palestina, Samoa dan Mongolia. Hanya sebanyak 44% penduduk menuntaskan pendidikan menengah. Sementara 11% murid gagal menuntaskan pendidikan alias keluar dari sekolah.
Sector pendidikan juga sangat berperan dalam mudahnya adu domba yang terjadi dimasyarakat, masyarakat kalangan menengah kebawah cenderung mengikuti apa kata yang diatas, karena memang kekuatan pendapat mereka sangat lemah untuk menjadi argumen yang kuat.
Lebih parah lagi para pemuda ataupun golongan mahasiswa yang disebut sebagai agent of cange yang terlalu terlena oleh hingar-bingar kemewahan teknologi, dimana mereka dibudakkan oleh berita hoax tanpa mau menelusuri kebenarannya tanpa mau membuka jendela dunia dan sangat mudah diprofokatori.
Dari situlah para Halayuda dan sengkuni menumpahkan racun kepada semua lapisan masyarakat agar menghancurkan suatu tatanan politik, ekonomi, dan mereka leluasa berdiri diatasnya untuk menginjak dan memakannya.
Sifat mudah diadu domba bisa saja di hindari ketika kita mau meneliti setiap perkataan dan tidak mudah mempercayai hal yang belum pasti, dalam teknologi yang sekarang ini adu domba memalui media sosial sangat gencar dilakukan dihentikan itu sangat sulit sehingga kita sebagai kaum muda atau agent of cange, harus berani mengambil sikap menghapus dan menulis hal yang bermanfaat bagi segala lini masyarakat.
Puncak dari Politik Adu Domba Dyah Halayuda ini menjadi peristiwa tragis dan sejarah yg kelam,dalam perjalanan sejarah lalu ini kita akan belajar memetik pesan penting untuk dijadikan pembelajaran hidup untuk diri kita sendiri serta untuk membangun bangsa yang besar ini.
Keadilan Pemimpin Negara
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar.
John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa “Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial”.
Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politisi di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan.
Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas.
Sikap adil merupakan salah satu prinsip tertinggi yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin. Seluruh keputusan dan kebijakan pemimpin perlu bermuara pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara luas. Artinya tidak mengenal kelompok, suku, agama, dan golongannya sendiri. Semua terlayani dengan baik.
Nabi Muhammad merupakan pemimpin yang menjadi teladan bagi para sahabat dan umatnya. Rasulullah saw menerangkan bahwa para penegak keadilan dan pemimpin yang adil akan ditempatkan Allah dalam kedudukan yang luhur dan terpuji, sampai digambarkan berada di atas “mimbar cahaya”.
Sikap adil Nabi Muhammad diteruskan oleh para sahabatnya, termasuk Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah Umar menjelaskan bahwa adil itu tidak mengenal dispensasi bagi keluarga dekat ataupun yang jauh dan tidak pula mengenal waktu sempit atau lapang. Walaupun ia nampaknya lunak akan tetapi sebenarnya kuat, dapat memadamkan api kezaliman dan memberantas kebatilan.
Muhammad Saw berhasil mendamaikan suku-suku Arab yang bertikai hampir terjadi pertumpahan darah di antara mereka pada saat meletakkan hajarul aswad.
Keberhasilan tersebut membuktikan beliau seorang pemimpin adil, dan masyarakat Arab sontak memberinya gelar al-Amin (dapat dipercaya).
Adil adalah sikap paling istimewa Muhammad Saw, beliau selalu mengingatkan agar memutuskan hukum dengan seadil-adilnya, Jika Fathimah puteri Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya”, dikutip dari HR Bukhari dan Muslim. Di hadist lain, dijelaskan keadilan Rasulullah Saw terhadap istri-istrinya, keadilan terhadap orang musyrik sekalipun dan keadilan kepada semua manusia. Kepemimpinan adil yang telah dicontohkan oleh Rasulullh Saw diikuti oleh para pemimpin Islam generasi berikutnya.
Michael H. Hart (2009) dalam bukunya berjudul “100 A Ranking of The Most Influential Persons in History” atau 100 orang paling berpengaruh (memiliki kepemimpinan sejati) di dunia sepanjang sejarah.
Kepemimpinan berbasis keadilan yang dimilikinya, mampu membuat perubahan peradaban masyarakat dari masyarakat biadab menjadi masyarakat beradab dalam waktu singkat kurang lebih 20 tahun.
Di 2,5 tahun sisa hidupnya, beliau sempat menyaksikan suku-suku Arab berbondong-bondong memeluk agama Islam, berlanjut setelah beliau wafat hingga sekarang agama Islam berkembang pesat di seantero dunia ini.
John Adair (2010) seorang pakar kepemimpinan dalam bukunya “Kepemimpinan Muhammad” menggambarkan keberhasilan Rasulullah Saw sebagai pemimpin yang dipercaya umat karena beliau meletakkan atau menjungjung tinggi nilai kebenaran dan keadilan.
Asumsi beliau “Tidak ada kepercayaan tanpa kebenaran”. Catullus, penyair Romawi 84-54 SM mengatakan “Kepercayaan sebagaimana nyawa, sekali lenyap berarti lenyap untuk selama-lamanya”.
Livius, penulis sejarah Romawi mengatakan, “Apabila rasa percaya lenyap, segala hubungan antar manusia menjadi sia-sia”.
Oleh karena itu, penulis mengajak kita semua untuk memelihara dan memupuk kepercayaan itu, melalui sikap jujur, visoner, inspiratif dan cakap.
Pemimpin adil memberi kesejahteraan, kebahagian, keamanan dan kedamaian untuk semua pengikutnya tanpa membedakan satu dengan lainnya.***(Moh.Bisri, M.A.P Direktur PT Media TANPAJEDA).